Aku tak tahu apa tepatnya yang kupikirkan malam itu. Tapi yang pasti, keinginan untuk membina rumah tangga begitu kuat. Keinginan untuk mewujudkan keluarga kecilku begitu menggelegak. Dan malam itu aku tahu mesti melakukannya dengan siapa. Ya, dengan teman kecilku, yang kini telah beranjak dewasa, dan memberikan semua pesonanya untukku. Kami sama-sama ingin menikah, dan Tuhan dengan segala kuasa-Nya mempertemukan kami berdua kembali.
Tak pernah terbayangkan bila diriku, seorang laki-laki yang begitu muda, begitu naif, dan begitu ceroboh, berani mengambil keputusan besar itu. Malam itu aku menyatakan perasaan cintaku padanya, bukan sekadar untuk menjadikannya seorang kekasih, melainkan menjadikannya pendamping hidup, seorang istri. Dan aku tak pernah segelisah waktu itu, sekaligus tak pernah sebahagia malam itu. Dengan tulus dia menerima perasaanku, bersedia menjadi istriku, sehidup semati bersamaku.
Butuh lebih dari sekadar keberanian malam itu, untuk bisa mengucapkan kalimat yang takkan pernah terlupakan sepanjang hidupku itu. Mungkin itu adalah salah satu pencapaian terbesar yang pernah kulakukan dalam hidupku. Dan kupikir aku melakukannya dengan luar biasa, melintasi ruang dan waktu, dan berhasil dengan membanggakan. Tak ada keraguan, malam itu adalah sebuah ketulusan dan keseriusan, dan kebanggaan sebagai seorang laki-laki. Aku berani mengambil tanggung jawab dan memutuskan untuk menikah.
Percayalah kalian takkan percaya bila mendengar kisah lengkapnya, tapi itulah yang terjadi. Malam itu aku melamarnya, dan itu adalah malam terbaik yang menandakan akhir dari kesendirianku, memulakan awal dari kebersamaan kami. Ya, aku melamarnya. Empat bulan kemudian kami bertemu, bertatap muka untuk pertama kalinya sejak tiga tahun berpisah. Kami melakukan kencan pertama kami sebagai kekasih, dan esoknya kami berikrar suci sebagai suami-istri. Di hari pernikahan itu untuk pertama kalinya kupeluk tubuh kurusnya dengan gemetar, dan dia balas memeluk tubuh gemukku dengan begitu mesranya.
Dua tahun telah berlalu dan kini aku menjalani hidup bersama perempuan hebat tersebut. Aku begitu bersyukur dan tak henti-hentinya bersyukur memilikinya sebagai istri. Dia istri yang begitu berbudi, penyabar dan telaten. Dia melayaniku dengan penuh keikhlasan. Mencucikan pakaianku, mengurus kegiatan rumah tangga, membantuku mencari nafkah, hingga kini merawat bidadari kecil kami yang begitu lucu dan menggemaskan.
Dia rela menungguku pulang hingga larut malam. Dia lebih dulu memikirkan kebutuhanku, memikirkan sarapanku, atau memikirkan pakaian yang akan kupakai. Dan dia mempersiapkan semua itu dengan sangat baik. Dia selalu izin kepadaku bila hendak keluar rumah, bahkan hanya untuk membuang sampah dan menjemur pakaian. Dia seorang istri yang patuh pada perintah suaminya, ikhlas melakukannya. Dia menghormatiku sebagai suaminya dan karenanya aku berusaha menjaga perasaannya.
Dia baik dalam hal agama, menjaga kehormatannya, dan aku bersyukur untuk itu. Namun tetap saja dia seorang perempuan, yang masih membutuhkan bimbinganku dalam melihat kebenaran agama. Kami saling mengingatkan, dan bersama-sama kami beribadah dalam jamaah, bersujud, dan membaca kitab suci. Dia melindungi dirinya dari maksiat, dan kesetiaannya adalah kebaikan bagiku. Aku imamnya, dan dia makmumku. Aku menerima kekurangannya, sebagaimana dia menerima kekuranganku. Karena dia adalah pakaian bagiku dan aku adalah pakaian baginya.
Dia sosok yang ramah, supel, mudah bergaul, dan akrab dengan siapa saja. Sangat berbeda denganku yang cenderung pendiam. Kami sadar kami sangat berbeda. Tapi perbedaan itulah yang menyatukan kami. Perbedaan itulah yang menjadikan indah pernikahan kami. Meski kadang kami berselisih. Tapi kami berselisih untuk alasan yang baik. Dan dari situ kami saling melengkapi, saling memahami satu sama lain untuk menjadi pasangan yang lebih baik lagi. Kami saling bantu dan bahu-membahu membina rumah tangga, berdoa agar menjadi sakinah mawaddah, warohmah, dan barokah.
Kuakui kadang aku tak kuasa menahan emosiku. Terkadang aku bisa begitu marah, membentak, dan berteriak. Namun dia istriku, bisa begitu tabah dan tetap tersenyum menghadapiku. Senyuman indahnya mampu mendinginkan kepalaku, menenangkan dadaku, mematikan semua kebencian. Yang ada kemudian aku memeluknya begitu erat, begitu rapat, dan menenggelamkan wajahku di dadanya yang begitu hangat. Meminta maaf, berterima kasih, dan bercerita. Kami memang saling terbuka, saling berbagi, dan berupaya menyelesaikan masalah bersama-sama. Bebanku adalah bebannya, dan bebannya adalah bebanku.
Saat aku sakit, dia yang pertama kali mengkhawatirkanku. Dia yang mengambilkanku segelas air, lantas memijat tubuhku dengan begitu lembut. Jari-jarinya bisa begitu terampil menghilangkan lelah di tubuhku, dengan senyum yang meredakan peningku. Dialah perempuan impianku, yang selalu kudamba dapat menggosok punggungku dengan sepasang tangan halusnya. Yang selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan merawat diri untuk suaminya. Hanya dia perempuan yang kuinginkan menjadi istriku, ibu dari anak-anakku.
Dia mungkin tidak secantik dan sepintar yang didambakan para lelaki. Kulitnya mungkin tidak seputih dan sehalus perempuan-perempuan idola kaum Adam. Tapi bagiku dialah yang terbaik yang bisa kudapatkan. Dialah yang tercantik dengan senyuman termanis yang pernah kulihat, yang tak pernah pergi dari benakku sedetikpun. Kulitnya adalah yang paling eksotis dan tubuhnya adalah yang terindah dari yang pernah ada. Aku tak peduli apa kata orang, karena cukuplah dia sebagai istriku. Karena memang dari awal aku tak mengejar kecantikan fisik, melainkan kecantikan hati dan keluhuran budilah yang kudambakan.
Dua tahun telah berlalu dan selama itu aku terbangun di sisinya. Membuka mataku dan mendapati anugerah terindah yang pernah kudapatkan dari Tuhan. Dia seindah namanya, seindah pancaran mentari pagi. Hangat, menyenangkan, menentramkan hati. Membuatku terkadang tak percaya aku telah melamarnya di malam itu. Tak percaya bahwa aku cukup berani untuk melakukannya. Tak percaya pula bila kini aku telah memilikinya. Dan aku berterima kasih pada cinta untuk hal itu. Karena cintalah yang menjadikanku berani mengambil tanggung jawab, membuatku mampu menghadapi masa depan yang serba tak pasti. Yang pasti aku bersyukur, bersyukur karena telah melamarnya di malam itu.
Percayalah kawan, cinta adalah kekuatan yang bisa menggerakkanmu lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Jadi apa yang kalian tunggu? Melamarlah sekarang dan menikahlah, mulailah kehidupan baru kalian. Jangan berlama-lama berkubang dalam dosa, segeralah akhiri dan ubahlah menjadi pahala. Kalian tak perlu menunggu mapan untuk melakukannya, tak perlu menunggu menjadi kekasih terlebih dulu, dan tak perlu berlama-lama dalam hubungan tak pasti. Yang perlu kalian lakukan hanya memantapkan niat, memurnikan tujuan, dan mengambil tindakan. Melamarlah, menikahlah, dan percayalah, kalian akan sangat bersyukur karenanya. Menikah itu indah. (luk)
"Kau anugerah Sang Maha Rahim...
Semoga Allah berkahi kita...
Kekasih penguat jiwaku...
Berdoa kau dan aku di Jannah...
Kutemukan kekuatanku di sisimu...
Kau hadir sempurnakan seluruh hidupku...
Inilah janjiku kepadamu..."